selama langkah tak letih berderap
selama nafas masih menghentak
selama jantung riang berdendang
selama tangan masih kuasa menggapai
selagi bumi masih menggelar rerumputan
selagi surya masih berbagi kehangatan
selagi hujan tak letih membasahi asa
selagi angin masih bersiul mesra
selama itu pula aku mengejar
selagi kau masih menjadi angan
aini el najib
Rabu, 07 Mei 2014
Selasa, 29 April 2014
cinta itu mudah saja
Berapa lama kita saling mengenal ?
Satu
hari saja, saat aku menjadi bulanan mu diacara yang bahkan tak ingin ku ingat.
Berapa
banyak waktu yang kuperlukan hanya untuk mengetahui namamu?
Sehari
saja, karena kau yang membuat dan memaksaku mengetahui namamu.
Berapa
kata yang kau ucap untukku?
Seribu
katakah? No way, kau terlalu sibuk dengan buku didepan matamu.
Pernahkah
kau ulaskan sebuah senyum untukku?
Entahlah,
memandang mu saja aku tak kuasa, bagaimana aku akan menekuni ciptaan Tuhan seperti
kau?
Betapa
lancangnya aku, berani menaruh rasa pada seseorang yang bahkan mengetahui
namaku saja -mungkin- tidak. Hah, pandangan itu menyesesatkan!
Sehari
saja, saat ku tahu seseorang berdiri disana, diantara para pria berkemeja
hitam, tertawa jengah saat matahari menyapu wajahnya. Siapa ia? Manis sekali.
Hey! Hari ini bulan ramadhan! Oh ya?
Come on! Tidak akan lama kok, sejenak saja, sekedar melihat. Tapi setan kali
ini memenangkan pertarungan, pandangan itu tak berhenti melebar, hingga detik
ini. Kurang ajar!
Lalu ia mendekatiku (?),tepatnya
kami-aku dan teman teman yang belum tamat sejam kutahu nama mereka-, tersenyum lebar dan mengenalkan namanya, di mana
ia bernaung, ditingkat berapa ia menuntut ilmu. Dari aksennya, aku tahu dia
orang Jawa, yang tak mau diakui kejawaannya. Peduli amat, yang ku ingat,
senyumnya, suaranya, dan tawanya seakan kabur dari panca indraku, menyisakan
rasa aneh yang masih terselip dirongga dekat jantungku.
Tak dapat kukatakan aku mencintainya,
betapapun aku mengetahui nama indahnya, hobi, dan banyak kepingan indah dari
hidupnya. Aku hanya dapat memastikan aku menyukainya, menyukai setiap langkah
misi hidupnya, menyukai kegilaannya terhadap sastra. Haha, bodohnya, aku
menikmati semua itu, walau terkadang harus rela merasa terabaikan atas setiap
senyumnya. Dia tak mengenalku, aku memakluminya. Aku bukan perempuan yang mudah
berkenalan dengan orang yang aku suka, terlalu GR dengan anggapan ia tahu aku
mengaguminya. Hah, freak ! jadi ku
nikmati saja indahnya mengagumi diam-diam. Asyik kok..
Ku biarkan saja rasa aneh itu berkembang,
seiring dengan aktifitasmu
yang semakin sibuk saja. Semakin hebat kau mengguncang imanku, menyandera jiwa
dan hatiku. Tuhan ampuni ia.
Sekarang bulan apa? Berapa lama Tuhan beri
waktu untukku mengenalmu? Aku terlalu egois untuk mengakui bahwa Tuhan berikan
jalan agar kau juga mengenalku. Tak apa, begini saja cukup membuatku mabuk
kepayang. Huhh!
Hingga detik ini, saat jemari tanganku
mengetikkan kisah hidup lucu ini. Aku mulai mencoba melepasmu, melepas senyum
dan ragamu. Sekarang saatnya kau
kepakkan sayap yang selama ini kau rakit dengan keigigihan, kerajinan, dan kau poles
dengan taqwa. Terbanglah tinggi, peluk cinta dan asa mu.
Semoga kau temukan kebahagiaan disana, di kampung
tempat kau dibesarkan..
Semangat.. Ma’annajah mas.. :’)
Sabtu, 19 April 2014
Pa, Lee chan ingin bahagiakan Pa
Namaku A Lian
Chan.
Aku adalah
gadis cilik berumur 5 tahun, yang duduk
di bangku kelas awal Sekolah Dasar. Terlalu muda untuk menjadi seorang murid
SD, tidak mengapa, menuntut ilmu tidak menuntut usia, entah apa maksudnya, aku
hanya menirukan kata Pa ku.
Kau pandai menghayal? Pernahkah kau melihat guci porselen milik Kaisar China? Motif
apa yang acap kau lihat? Naga? Pernah kau melihat motif guci berupa gadis
cantik, bermata indah bagai biji kuaci, bibir mungil bagai pinang terbelah,
dengan kulit langsat dan poni berkepang
dua berpita merah cantik di ujungnya? Itu adalah guci trelangka sepanjang masa
milik seorang kaisar hebat di China. Seperti itulah aku, gadis cilik yang
cantik dan rupawan, kata Pa ku dua hari lalu, saat kunjungan di Museum
Kekaisaran.
Tapi jangan
kau bayangkan, aku duduk manis membaca buku cerita di atas bantal duduk
bersulam sutra, atau belajar di bawah indahnya lampu berlian. Aku senantiasa
berbahagia, duduk, membaca, dan belajar menulis huruf kanji diatas karung
tepung disudut toko kelontong Pa, dimalam hari bulan sabitlah yang menemaniku
dan Ma menguleni bakpao untuk dagangan esok. Aku tak kalah bahagia dengan A Ken
misalnya, yang selalu membandingkan bekalnya dengan bakpao dingin di kotak
rotan milikku. Kata Pa, ibu guru A Ling tidak akan menyayangi muridnya hanya
dari apa isi kotak bekalnya, tapi dari rapinya menulis huruf kanji. Karena itu
aku tak pernah memerdulikan kenakalan A Ken lagi.
Suatu ketika
aku diminta Ma mengantar bakpao pesanan Koh Ahong. Aku berjalan kaki menuju rumah
Koh terkaya di desaku itu, dengan menjinjing keranjang berisi bakpao panas
sejumlah 10 buah. Hal semacam ini aku lakukan hampir setiap hari sepulang
bersekolah. Anehnya, aku tak pernah menerima uang dari Koh Ahong, tidak seperti
saat aku mengantar bakpao kerumah Koh Tiang misalnya. Ma bilang, Koh Ahong akan membayar bakpao bakpao itu esok suatu
hari. Ah, aku tidak mengerti.
Sepulang dari
rumah Koh Ahong, Ma mengajakku serta ke toko Pa. Berjalan kaki juga. Keluarga
kami hanya memiliki satu sepeda tua, yang saat ini berada di rumah pegadaian
Koh Ahong. Aku tidak mengerti, kenapa sepeda reot kami ditinggalkan di sana,
setahuku apa saja yang dibawa ke rumah pegadaian akan kembali menjadi uang.
Tapi kurasa tidak, Pa tidak tampak memiliki uang banyak sejak sepekan sepeda
kami di sana.
Sesampai di
toko, Pa langsung mengangkatku dalam pelukannya, dan seperti biasa menungguku
bercerita tentang hari di sekolah, hingga aku nyaris tak bernapas saking
bersemangatnya. Pa selalu menyelakan waktunya menunggu pelanggan dengan
mendengarkan ceritaku. Pa senantiasa tersenyum, tertawa dan bersemangat jika
aku bercerita tentang proses ku belajar menulis huruf kanji bersama ibu guru A
Ling. Terkadang kulihat setitik air di ujung mata Pa. Pa menangis? Pa terharu, kata
Ma. Karena Pa tidak pernah merasakan menjadi anak sekolahan. Aku hanya
mengangguk. Turut merasakan perasaan Pa kala Pa kecil dulu.
Di sela
ceritaku, saat aku siap berangkat sekolah dengan tas rotanku, atau saat aku
bersiap untuk tidur, Pa selalu berkata “ Jangan jadi anak nakal Lee Chan,
jangan membantah kata Ma, jangan melotot pada ibu guru A Ling, jangan berkelahi
dengan teman ”. “ Bahkan saat A Ken
mendorongku Pa?” selaku. Pa menggeleng, tangannya tak henti mengelus kepang
duaku “ sekalipun jangan sayang. Jadilah anak yang baik, penurut, dan pandai
menulis huruf kanji dan lihai berhitung matematika”. Aku manggut manggut
mengerti. Tapi terkadang aku lelah dengan nasihat Pa tadi, selalu kalimat yang
sama yang Pa katakan padaku.
Pernah aku
terkena marah Ma, saat aku berkata ingin berhenti sekolah jika aku sudah pandai
menulis huruf kanji, aku ingin berjualan bakpao dan kelontong seperti Pa dan Ma
saja. Tak kusangka Ma marah besar , Ma berkata “ kau harus pandai nak, harus
lebih pandai dari Ma dan Pa. Ma tak ingin kau seperti Ma, Ma ingin kau hidup
dengan layak dan berkecukupan. Ma tak mau kelak kau tinggal di gubuk macam ini,
dan hanya makan bakpao setiap hari !”. Ma menangis hingga terduduk. Hal ini membuatku
tak berani lagi berkata demikian.
Suatu ketika
Koh Ahong mendatangi toko Pa, ia datang membawa sepeda reot kami. Aku bersorak gembira, walau
aku belum dapat mengendarainya, tapi bahagia rasanya melihat sepeda itu kembali
kepada Pa. Koh Ahong berkata sembari menyalami Pa “ Chen, lunas sudah hutangmu,
terimakasih bakpaonya, tadi isterimu telah mebayar lunas hutang yang seharusnya
kau cicil hingga 3 pekan lagi. Ini sepedamu, semoga uang kemarin bisa
meluluskan impianmu menyekolahkan Lian Chan hingga setinggi tingginya ”. Aku
melongo, menyaksikan Pa berpelukan dengan Koh Ahong. Oh, rupanya sepeda kami
dijadikan Pa sebagai jaminan atas uang yang dipinjam Pa kepada Koh Ahong
sepekan lalu, saat aku didaftarkan bersekolah di Sekolah ibu guru A Ling.
Aku berlari
memeluk Pa, mencium pipinya, dan berbisik mengucapkan terima kasih
ditelinganya. Pa mencium keningku dan tersenyum.
Pa, Ma, aku
berjanji, aku akan menjadi anak yang rajin,pandai menulis huruf kanji,
menghitung matematika, dan kelak memiliki rumah seperti rumah Koh Ahong, yang
bertingkat 3.
Tunggu aku
dewasa Pa, Ma.
maha bhakti ..
Bismillahirrohmanirrohiim..
Rabu, 2 April 2014
Sekarang hari rabu ya?
Cepat sekali rasanya, sepertinya baru kemarin termangu mangu menatap layar
ponsel, berulang kali memastikan bahwa nama yang tertera di pesan singkat itu
adalah namaku. Sebulan lalu aku menerima SMS dari salah satu pengajar di
sekolah, yang membuatku melongo berkepanjangan. Benarkah aku terpilih menjadi finalis 6 besar
OSN madrasah? Ha..lucu sekali, mana bisa aku terpilih, OSN fisika pula. Ah
entahlah, kenyataannya hingga detik ini aku menyandang gelar ‘ cah OSN ’. Tapi
bukan kisah itu yang akan aku tuangkan di Blog ini. Tapi cerita lain yang ‘seharusnya’
seru.
Well, rabu ini
kuhabiskan setengah hari untuk menjadi wakil madrasah sebagai peserta lomba OSK
yang digelar di salah satu SMA swasta di Jogja. Lantas kemana setengah hari ku
kemudian? Aku tidak pulang ke rumah, untuk sekedar merehatkan badan yang turut
lelah padahal otaklah yang mati matian bekerja pagi tadi. Mobil sekolah
mengantarku kembali ke sekolah, untuk bersiap diberangkatkan ke bumi
perkemahan, karena tepat di rabu itu pula sekolah mengadakan agenda Maha
Bhakti, yang musti dan wajib diikuti oleh siswa siswi kelas X, tak tekecuali
aku, menyebalkan, bukan?
Dari awal aku sudah tidak mood dengan seluruh acara ini, aku lelah, lelah sekali. Satu bulan
penuh dihadapkan denan rumus rumus fisika , lantas dihari dimana aku harus
menguras seluruh energi untuk berpikir, saat itu pula aku harus korbankan waktu
ku untuk istirahat demi mendapat nilai afektif diatas B. Oh God!
Kamis, 3 April 2014
Hari ini aku ingin
menangis, ingin pulang rasanya, bukan karena tidak betah dengan teman setenda.
Tapi seperti ku sebut tadi, aku lelah sekali. Semalam para DA tega membuat kami
–para peserta Maha Bhakti- berbasah basah dengan air hujan, belum pula acara
‘atos atosan’ dari mereka. Dan pagi hingga menjelang tidur, aku masih saja
disbukkan oleh kegiatan hasil rapat mereka.
Para DA menyebut salah
satu agenda di hari ini sebagai OUT BOND. Tapi serasa bukan out bond, tidak ada
serunya, yang ada aku harus lelah mengitari desa. Sama sekali tanpa tantangan.
Jumat, 4 April 2014
Pagi tadi seakan mata
sudah tidak mau membuka, ngantuk. Tadi malam nobar film di ruang
Kesekretariatan hingga pukul 12:30. Dan harus kembali terbangun pukul 03:00
pagi untuk sholat tahajud berlanjut dengan mujahadah bersama. Oh God!!
Alhamdulillah kegiatan
hari ini lumayan ringan, hanya lomba lomba biasa. Seperti memasak, aster,
kepramukaan dan drag bar. Tidak membutuhkan banyak tenaga, bisa sedikit
renggang otot otot ku.
Sorenya rasa lelahku
seikit terhibur, karena ada lomba futsal antar kelas. Yeaayy, kelasku memang
jagonya, juara satu futsal itu sudah hal biasa. Congrats XFamous. He he he.
Sabtu, 5 April 2014
Hari ini benar benar
Alhamdulillah, pulang pulang pulaaaaaaaaang!!!!
Say hello for my beloved parents, my softy home and my
sweety rooms. :D
Langganan:
Postingan (Atom)